Sabtu, 07 November 2009

Let It Be

Jujur aja ya, gw paling nggak suka sama diri gw sendiri kalo gw berusaha menyampaikan sesuatu, terus gagap. Tapi karna udah biasa, tentulah saya tak lagi memprotes kelemahan saya yang satu ini. Tapi kadang² kalau sedang sangat kesal pada kegagapan saya, air mata kekesalan bisa saja merebak dari mata saya. =P. Tapi eh tapi, saya sadari bahwa orang yang gagap juga punya tendensi berbicara dengan cepat. Semuanya hanya masalah emosi. Saya tahu saya hanya gagap kalau saya sedang terlalu bersemangat atau terlalu gugup. Jadi intinya adalah masalah pengendalian emosi. Kadang² gw bisa merasa sedih sih atas kegagapan gw, tapi setelah itu gw berusaha untuk memantapkan emosi saya dan merasa baik² saja. Saya rasa penguasaan bahasa saya cukup baik, hanya kadang² saja saya mengalami ketidakseimbangan, sehingga muncullah gagap. Tentulah saya sadar jika gagap adalah kelemahan saya, maka tentulah ada kelebihan² yang saya miliki karna Tuhan kan Maha Adil. =). Jadi saya berusaha mengingat² dan mensyukuri apa yang menjadi kelebihan saya. Lagipula, saya rasa orang gagap diberikan rasa untuk berempati lebih untuk merasakan penderitaan sesama orang² gagap. Saya bisa deteksi jika seseorang sedang gagap, maka saya bersimpati padanya dan membantunya sebisa dan setulus hati saya. Wah segitu saja yah. Sebenarnya saya browsing malam ini untuk mencari tahu solusi menghilangkan gagap, tapi saya rasa ya sudahlah, saya kira ini bukan masalah besar. Sebaiknya saya latihan piano saja. So sampai jumpa lagi yaa.. =P

Kamis, 22 Oktober 2009

Bad Happy Day

Hari ini adalah hari yang sangat kacau. Sangat! Walaupun Alhamdulillah hasil didikan semasa kuliah membuat gw minimal tampak tegar menghadapi krisis, tapi tetap saja, hari ini menjadi 1 hari berarti yang nggak akan gw lupakan. Soalnya ini berawal dari kekonyolan yang bernama ketidakacuhan. Yes, ketidakacuhan seorang gw =). Sedang malas nulis sebenarnya, hanya mau menyatakan saya tidak akan melupakan apa yg Allah swt ajarkan pada saya hari ini =). Yes You makes me a far better person today. Alhamdullillah. =)

Senin, 14 September 2009

Mungkin banyak yang nggak tahu ya kalo saya itu sebenarnya sensitif dan gampang nangis? Yeah, walaupun saya jauh dari feminin dan macho, saya memang segitu sensitifnya. Walaupun saya sering dapat predikat acuh tak acuh, toh nggak ada yang tahu apa sebenarnya yang ada dalam pikiran saya. Saya bertaruh sebagian besar orang yang tampaknya acuh tak acuh, justru malah sangat perhatian, melebihi mereka yang tampaknya memang menunjukkan sikap perhatian.


Tapi memang saya menghindari yang namanya nangis di depan umum. :D Nggak keren aja keliatannya, saya jadi keliatan lemah dan saya nggak suka itu. :D Pernah sekali saya menangis di depan umum secara tak terhindarkannya, dan ada beberapa orang yang membahas itu dan saya malah secepat kilat pergi dari sana menghindari perhatian teman-teman saya. Saya nggak akan begitu seandainya tidak dipancing. :D. Emosi yang membuncah kadang menjadi tak tertahankan dan peristiwa seperti itu bisa saja terjadi secara tak terhindarkannya. Saya bersyukur sejauh ini saya hanya mengalami peristiwa semacam itu sekali :D.

Yeah, mungkin ini yang namanya melankolis. Sebenarnya saya tidak suka bersedih tapi kalau tidak malah akan menimbulkan efek yang lebih buruk : sinis. Saya bertanya² darimana gerangan saya mendapatkan cynical edge yang begitu kuatnya, saya kira mungkin karna saya adalah orang yang peka. Kesedihan kalau tidak dikendalikan bisa menjadi suatu kekuatan jahat + bakat sinis saya, ya jadilah sudah kejahatan dalam bentuk kata-kata. Saya kira kekuatan bahasa saya cukup lumayan juga karna saya bisa memformulasikan kemarahan dalam bentuk kalimat-kalimat yang seringkali nggak ada hubungannya dengan penyebab kemarahan saya. Dan saya kira kemampuan mencari² alasan saya juga cukup lumayan karna saya seringkali bisa mencari² alasan untuk bertingkah menyebalkan demi melampiaskan emosi negatif saya.

Yah sudah deh, saya kira di bulan puasa ini, saya diberikan rahmat bahwa penting sekali untuk melakukan hal yang benar & BAIK. Agak susah memang yang namanya mengorbankan perasaan. Sampai sekarang saya masih belum terlalu menguasainya.

Ngomong² saya terinspirasi dari acara Bengkel Hati di TPI pagi tadi. Saya pikir², saya yang terlalu sensitif atau gimana ya sampai² kok justru liver sayalah yang sakit (katanya kalau liver sakit itu artinya saya adalah orang yang pendendam). Makanya itu, saya lebih memilih nangis ketimbang sakit liver. Tradisi nangis saya akan saya lanjutkan deh, tapi tetap diam² tentu saja. Saya rasa ini semacam win win solution ya, bagi kesehatan liver & tuntutan berbuat benar & baik yang selama ini saya pegang (dimana prinsip BAIK nya tanpa sadar saya langgar -_-a). Saya sadar bahwa saya adalah tipe gunung es. Orang², bahkan keluarga saya, tidak tahu kalau saya sedang bersedih (kecuali ayah saya, beliau kadang² bisa membaca ekspresi saya & menghibur dengan cara mengajak saya ke toko buku bukan di hari libur, itu dulu, waktu saya masih SMA -_-a). Tapi memang TEGAR sudah menjadi sifat saya yang mendarah daging, toh, saya tetap perlu dan malah HARUS mengadu pada-Nya, demi kesehatan & kebaikan saya sendiri.

Nah sekian hasil kontemplasi saya di malam bulan Ramadhan ini :). Saya bertekad insya Allah akan terus meneruskan (*bahasa macam apa itu : terus meneruskan? :D) prinsip “lakukan yang benar & baik” saya (walaupun kadang² saya ogah²an :D). Oke deh, sekian dulu ya :D.

Senin, 24 Agustus 2009

Rotaract Cultural Exchange

Dapet info dari milis nih.

Hello Rotaractors all over the world!!

The Rotaract Club Magé, District 4750, Rio de Janeiro, Brazil, has the pleasure to invite you to our new international project called Rotaract Cultural Exchange.

It's your opportunitty to visit Brazil and meet the beauties of the "Wonderful City", Rio de Janeiro.

During 30 days, you will know the District 4750, the wonders of Rio de Janeiro, the "Cristo Redentor" (one of the seven wonders of the contemporany world), Beatifull Beaches as Copacabana, Ipanema, Búzios and Cabo Frio, be part of speccially planned festivities, see the projects undertaken by Rotaract Clubs in Brazil, will make visits to universities and Rotary events and meet the Brazilian Culture!!

And How much will you pay for that??

Nothing!!

That's real. Nothing!!

All you have to do is to get here, you will be hosted (accomodation and food) by ours Rotaractors during 30 days in July and August of 2010, for free.

So, take the rules:

1st) You must send an email request to rotaractmage@ hotmail.com with the Subject Rotaract Cultural Exchange.
2nd) You will fill down a Registration Form, and get the signature of your's Sponsor Rotary Club President.
3rd) You will send it to us untill 1st December 2009.
4th) The candidates will be analyzed and 1 or 2 rotaractors from anywhere will be selected.

Them, you must Get your Visa (if necessary), Sign our statement of responsability, Buy your airfare, get an international insurance and COME ENJOY BRAZIL!!

Please, forward this message to your club mates, and all interested people.

Greatings to All

Lucas Silverio de Lima
Rotaract Club Magé (District 4750), RJ, Brazil
Director of International Services 2009/2010
District Rotaract Representative 2009/2010
+55 21 87545255
MSN Messenger: lucasgramas@hotmail.com

CP nya temen gw, katanya silakan tanya-tanya ke dia kalo berminat :)

DRRE Indra Diwangkara
District Rotaract Representative Elect / District Club Service Director
Rotaract Club District 3400 Indonesia RY 2009-2010
www.rotaract.web.id

Minggu, 09 Agustus 2009

.....

gimana sih caranya nolak orang dengan halus? = =a
nggak ngerti gw.
dari dulu salah terus.
mau gw jutekin, salah.
mau sama sekali nggak ketemu lagi, kalo bisa, salah.
mau normal-normal aja, dianya rese.
dari smp gw paling nggak bisa nih ngadepin yang kaya gini-gini.
gw pernah sampe berenti taekwondo gara-gara persoalan semacam ini.
ato minta dijemput pas pulang sekolah gara-gara persoalan semacam ini.
ato ngapus-ngapusin testimonial di friendster gw gara-gara persoalan semacam ini.

mau jahat, nggak tega.
mau baik juga susah.

rasanya jadi pengen marah-marah nggak jelas nih!!!

gw kan berhak dong yah nolak orang kalo orang itu mulai rese?!

menyesal

gw harap gw :
less hard headed
less argumentative
less childish
less making excuse

mulai dengerin kata orang.
agak nyesal malam ini nggak ikut reuni.
alesan gw adalah : mahal.
padahal toh nyokap gw udah mau bayarin, tapi gw tetep nggak dateng.
padahal gw boleh bawa mobil.
kalopun gw males nyetir, ada supir bokap gw yang mau jemput.
padahal reuninya deket banget. deket sma gw dulu.
manusia macam apakah gw ini yang mencari-cari alasan palsu?
harusnya gw datang dan menjalin silaturrahmi dengan teman-teman smp gw.
tapi terus terang gw nggak nyaman dengan situasi ramai.
situasi ramai yang intimidatif & foto-foto.
lagi-lagi kontradiksi.
gw benci kontradiksi ini.
nggak enak versus enggan.
beneran nggak enak gw sama Nova.
sama Fuad yang ngabis-ngabisin pulsa buat nelepon & bujuk-bujuk gw karna dia neleponnya ke HP.
pengennya sih gw menjalani semua hal yang baik dengan nyaman.
tapi kadang-kadang susah = =a.
padahal kadang-kadang gw suka jadi orang baik.
gimana sih cara nyembuhin kontradiksi?
i need help.
harus bicara dengan ibuku sekali lagi.
dan mulai menjalankan nasehat-nasehatnya walaupun terpaksa dan bukannya bertahan dengan kekeraskepalaanku.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Dateng nggak yaa?

Males dateng reuni T_T. Tapi nggak enak sama temen gw kalo nggak dateng. =|

Minggu, 02 Agustus 2009

how to do what you love?

Efek samping sekolah yang membosankan di jaman dahulu kali = =a.
Duh, semoga saja sekolah jaman sekarang bisa menyenangkan yah. Dulu ortu saya pernah nawarin sekolah yang pake sistem Quantum Learning, atau apa gitu. Pokoknya yang suasana belajarnya fun. Cuman sistemnya asrama. Nyesal deh nggak saya ambil kesempatan itu. T_T

Dari http://www.paulgraham.com/love.html, simak yah. Semoga bermanfaat.


How To Do What You Love?
January 2006

To do something well you have to like it. That idea is not exactly novel. We've got it down to four words: "Do what you love." But it's not enough just to tell people that. Doing what you love is complicated.

The very idea is foreign to what most of us learn as kids. When I was a kid, it seemed as if work and fun were opposites by definition. Life had two states: some of the time adults were making you do things, and that was called work; the rest of the time you could do what you wanted, and that was called playing. Occasionally the things adults made you do were fun, just as, occasionally, playing wasn't—for example, if you fell and hurt yourself. But except for these few anomalous cases, work was pretty much defined as not-fun.

And it did not seem to be an accident. School, it was implied, was tedious because it was preparation for grownup work.

The world then was divided into two groups, grownups and kids. Grownups, like some kind of cursed race, had to work. Kids didn't, but they did have to go to school, which was a dilute version of work meant to prepare us for the real thing. Much as we disliked school, the grownups all agreed that grownup work was worse, and that we had it easy.

Teachers in particular all seemed to believe implicitly that work was not fun. Which is not surprising: work wasn't fun for most of them. Why did we have to memorize state capitals instead of playing dodgeball? For the same reason they had to watch over a bunch of kids instead of lying on a beach. You couldn't just do what you wanted.

I'm not saying we should let little kids do whatever they want. They may have to be made to work on certain things. But if we make kids work on dull stuff, it might be wise to tell them that tediousness is not the defining quality of work, and indeed that the reason they have to work on dull stuff now is so they can work on more interesting stuff later. [1]

Once, when I was about 9 or 10, my father told me I could be whatever I wanted when I grew up, so long as I enjoyed it. I remember that precisely because it seemed so anomalous. It was like being told to use dry water. Whatever I thought he meant, I didn't think he meant work couldliterally be fun—fun like playing. It took me years to grasp that.

Jobs

By high school, the prospect of an actual job was on the horizon. Adults would sometimes come to speak to us about their work, or we would go to see them at work. It was always understood that they enjoyed what they did. In retrospect I think one may have: the private jet pilot. But I don't think the bank manager really did.

The main reason they all acted as if they enjoyed their work was presumably the upper-middle class convention that you're supposed to. It would not merely be bad for your career to say that you despised your job, but a social faux-pas.

Why is it conventional to pretend to like what you do? The first sentence of this essay explains that. If you have to like something to do it well, then the most successful people will all like what they do. That's where the upper-middle class tradition comes from. Just as houses all over America are full of chairs that are, without the owners even knowing it, nth-degree imitations of chairs designed 250 years ago for French kings, conventional attitudes about work are, without the owners even knowing it, nth-degree imitations of the attitudes of people who've done great things.

What a recipe for alienation. By the time they reach an age to think about what they'd like to do, most kids have been thoroughly misled about the idea of loving one's work. School has trained them to regard work as an unpleasant duty. Having a job is said to be even more onerous than schoolwork. And yet all the adults claim to like what they do. You can't blame kids for thinking "I am not like these people; I am not suited to this world."

Actually they've been told three lies: the stuff they've been taught to regard as work in school is not real work; grownup work is not (necessarily) worse than schoolwork; and many of the adults around them are lying when they say they like what they do.

The most dangerous liars can be the kids' own parents. If you take a boring job to give your family a high standard of living, as so many people do, you risk infecting your kids with the idea that work is boring. [2] Maybe it would be better for kids in this one case if parents were not so unselfish. A parent who set an example of loving their work might help their kids more than an expensive house. [3]

It was not till I was in college that the idea of work finally broke free from the idea of making a living. Then the important question became not how to make money, but what to work on. Ideally these coincided, but some spectacular boundary cases (like Einstein in the patent office) proved they weren't identical.

The definition of work was now to make some original contribution to the world, and in the process not to starve. But after the habit of so many years my idea of work still included a large component of pain. Work still seemed to require discipline, because only hard problems yielded grand results, and hard problems couldn't literally be fun. Surely one had to force oneself to work on them.

If you think something's supposed to hurt, you're less likely to notice if you're doing it wrong. That about sums up my experience of graduate school.

Bounds

How much are you supposed to like what you do? Unless you know that, you don't know when to stop searching. And if, like most people, you underestimate it, you'll tend to stop searching too early. You'll end up doing something chosen for you by your parents, or the desire to make money, or prestige—or sheer inertia.

Here's an upper bound: Do what you love doesn't mean, do what you would like to do most this second. Even Einstein probably had moments when he wanted to have a cup of coffee, but told himself he ought to finish what he was working on first.

It used to perplex me when I read about people who liked what they did so much that there was nothing they'd rather do. There didn't seem to be any sort of work I liked thatmuch. If I had a choice of (a) spending the next hour working on something or (b) be teleported to Rome and spend the next hour wandering about, was there any sort of work I'd prefer? Honestly, no.

But the fact is, almost anyone would rather, at any given moment, float about in the Carribbean, or have sex, or eat some delicious food, than work on hard problems. The rule about doing what you love assumes a certain length of time. It doesn't mean, do what will make you happiest this second, but what will make you happiest over some longer period, like a week or a month.

Unproductive pleasures pall eventually. After a while you get tired of lying on the beach. If you want to stay happy, you have to do something.

As a lower bound, you have to like your work more than any unproductive pleasure. You have to like what you do enough that the concept of "spare time" seems mistaken. Which is not to say you have to spend all your time working. You can only work so much before you get tired and start to screw up. Then you want to do something else—even something mindless. But you don't regard this time as the prize and the time you spend working as the pain you endure to earn it.

I put the lower bound there for practical reasons. If your work is not your favorite thing to do, you'll have terrible problems with procrastination. You'll have to force yourself to work, and when you resort to that the results are distinctly inferior.

To be happy I think you have to be doing something you not only enjoy, but admire. You have to be able to say, at the end, wow, that's pretty cool. This doesn't mean you have to make something. If you learn how to hang glide, or to speak a foreign language fluently, that will be enough to make you say, for a while at least, wow, that's pretty cool. What there has to be is a test.

So one thing that falls just short of the standard, I think, is reading books. Except for some books in math and the hard sciences, there's no test of how well you've read a book, and that's why merely reading books doesn't quite feel like work. You have to do something with what you've read to feel productive.

I think the best test is one Gino Lee taught me: to try to do things that would make your friends say wow. But it probably wouldn't start to work properly till about age 22, because most people haven't had a big enough sample to pick friends from before then.

Sirens

What you should not do, I think, is worry about the opinion of anyone beyond your friends. You shouldn't worry about prestige. Prestige is the opinion of the rest of the world. When you can ask the opinions of people whose judgement you respect, what does it add to consider the opinions of people you don't even know? [4]

This is easy advice to give. It's hard to follow, especially when you're young. [5] Prestige is like a powerful magnet that warps even your beliefs about what you enjoy. It causes you to work not on what you like, but what you'd like to like.

That's what leads people to try to write novels, for example. They like reading novels. They notice that people who write them win Nobel prizes. What could be more wonderful, they think, than to be a novelist? But liking the idea of being a novelist is not enough; you have to like the actual work of novel-writing if you're going to be good at it; you have to like making up elaborate lies.

Prestige is just fossilized inspiration. If you do anything well enough, you'll make it prestigious. Plenty of things we now consider prestigious were anything but at first. Jazz comes to mind—though almost any established art form would do. So just do what you like, and let prestige take care of itself.

Prestige is especially dangerous to the ambitious. If you want to make ambitious people waste their time on errands, the way to do it is to bait the hook with prestige. That's the recipe for getting people to give talks, write forewords, serve on committees, be department heads, and so on. It might be a good rule simply to avoid any prestigious task. If it didn't suck, they wouldn't have had to make it prestigious.

Similarly, if you admire two kinds of work equally, but one is more prestigious, you should probably choose the other. Your opinions about what's admirable are always going to be slightly influenced by prestige, so if the two seem equal to you, you probably have more genuine admiration for the less prestigious one.

The other big force leading people astray is money. Money by itself is not that dangerous. When something pays well but is regarded with contempt, like telemarketing, or prostitution, or personal injury litigation, ambitious people aren't tempted by it. That kind of work ends up being done by people who are "just trying to make a living." (Tip: avoid any field whose practitioners say this.) The danger is when money is combined with prestige, as in, say, corporate law, or medicine. A comparatively safe and prosperous career with some automatic baseline prestige is dangerously tempting to someone young, who hasn't thought much about what they really like.

The test of whether people love what they do is whether they'd do it even if they weren't paid for it—even if they had to work at another job to make a living. How many corporate lawyers would do their current work if they had to do it for free, in their spare time, and take day jobs as waiters to support themselves?

This test is especially helpful in deciding between different kinds of academic work, because fields vary greatly in this respect. Most good mathematicians would work on math even if there were no jobs as math professors, whereas in the departments at the other end of the spectrum, the availability of teaching jobs is the driver: people would rather be English professors than work in ad agencies, and publishing papers is the way you compete for such jobs. Math would happen without math departments, but it is the existence of English majors, and therefore jobs teaching them, that calls into being all those thousands of dreary papers about gender and identity in the novels of Conrad. No one does that kind of thing for fun.

The advice of parents will tend to err on the side of money. It seems safe to say there are more undergrads who want to be novelists and whose parents want them to be doctors than who want to be doctors and whose parents want them to be novelists. The kids think their parents are "materialistic." Not necessarily. All parents tend to be more conservative for their kids than they would for themselves, simply because, as parents, they share risks more than rewards. If your eight year old son decides to climb a tall tree, or your teenage daughter decides to date the local bad boy, you won't get a share in the excitement, but if your son falls, or your daughter gets pregnant, you'll have to deal with the consequences.

Discipline

With such powerful forces leading us astray, it's not surprising we find it so hard to discover what we like to work on. Most people are doomed in childhood by accepting the axiom that work = pain. Those who escape this are nearly all lured onto the rocks by prestige or money. How many even discover something they love to work on? A few hundred thousand, perhaps, out of billions.

It's hard to find work you love; it must be, if so few do. So don't underestimate this task. And don't feel bad if you haven't succeeded yet. In fact, if you admit to yourself that you're discontented, you're a step ahead of most people, who are still in denial. If you're surrounded by colleagues who claim to enjoy work that you find contemptible, odds are they're lying to themselves. Not necessarily, but probably.

Although doing great work takes less discipline than people think—because the way to do great work is to find something you like so much that you don't have to force yourself to do it—finding work you love does usually require discipline. Some people are lucky enough to know what they want to do when they're 12, and just glide along as if they were on railroad tracks. But this seems the exception. More often people who do great things have careers with the trajectory of a ping-pong ball. They go to school to study A, drop out and get a job doing B, and then become famous for C after taking it up on the side.

Sometimes jumping from one sort of work to another is a sign of energy, and sometimes it's a sign of laziness. Are you dropping out, or boldly carving a new path? You often can't tell yourself. Plenty of people who will later do great things seem to be disappointments early on, when they're trying to find their niche.

Is there some test you can use to keep yourself honest? One is to try to do a good job at whatever you're doing, even if you don't like it. Then at least you'll know you're not using dissatisfaction as an excuse for being lazy. Perhaps more importantly, you'll get into the habit of doing things well.

Another test you can use is: always produce. For example, if you have a day job you don't take seriously because you plan to be a novelist, are you producing? Are you writing pages of fiction, however bad? As long as you're producing, you'll know you're not merely using the hazy vision of the grand novel you plan to write one day as an opiate. The view of it will be obstructed by the all too palpably flawed one you're actually writing.

"Always produce" is also a heuristic for finding the work you love. If you subject yourself to that constraint, it will automatically push you away from things you think you're supposed to work on, toward things you actually like. "Always produce" will discover your life's work the way water, with the aid of gravity, finds the hole in your roof.

Of course, figuring out what you like to work on doesn't mean you get to work on it. That's a separate question. And if you're ambitious you have to keep them separate: you have to make a conscious effort to keep your ideas about what you want from being contaminated by what seems possible. [6]

It's painful to keep them apart, because it's painful to observe the gap between them. So most people pre-emptively lower their expectations. For example, if you asked random people on the street if they'd like to be able to draw like Leonardo, you'd find most would say something like "Oh, I can't draw." This is more a statement of intention than fact; it means, I'm not going to try. Because the fact is, if you took a random person off the street and somehow got them to work as hard as they possibly could at drawing for the next twenty years, they'd get surprisingly far. But it would require a great moral effort; it would mean staring failure in the eye every day for years. And so to protect themselves people say "I can't."

Another related line you often hear is that not everyone can do work they love—that someone has to do the unpleasant jobs. Really? How do you make them? In the US the only mechanism for forcing people to do unpleasant jobs is the draft, and that hasn't been invoked for over 30 years. All we can do is encourage people to do unpleasant work, with money and prestige.

If there's something people still won't do, it seems as if society just has to make do without. That's what happened with domestic servants. For millennia that was the canonical example of a job "someone had to do." And yet in the mid twentieth century servants practically disappeared in rich countries, and the rich have just had to do without.

So while there may be some things someone has to do, there's a good chance anyone saying that about any particular job is mistaken. Most unpleasant jobs would either get automated or go undone if no one were willing to do them.

Two Routes

There's another sense of "not everyone can do work they love" that's all too true, however. One has to make a living, and it's hard to get paid for doing work you love. There are two routes to that destination:
The organic route: as you become more eminent, gradually to increase the parts of your job that you like at the expense of those you don't.

The two-job route: to work at things you don't like to get money to work on things you do.
The organic route is more common. It happens naturally to anyone who does good work. A young architect has to take whatever work he can get, but if he does well he'll gradually be in a position to pick and choose among projects. The disadvantage of this route is that it's slow and uncertain. Even tenure is not real freedom.

The two-job route has several variants depending on how long you work for money at a time. At one extreme is the "day job," where you work regular hours at one job to make money, and work on what you love in your spare time. At the other extreme you work at something till you make enoughnot to have to work for money again.

The two-job route is less common than the organic route, because it requires a deliberate choice. It's also more dangerous. Life tends to get more expensive as you get older, so it's easy to get sucked into working longer than you expected at the money job. Worse still, anything you work on changes you. If you work too long on tedious stuff, it will rot your brain. And the best paying jobs are most dangerous, because they require your full attention.

The advantage of the two-job route is that it lets you jump over obstacles. The landscape of possible jobs isn't flat; there are walls of varying heights between different kinds of work. [7] The trick of maximizing the parts of your job that you like can get you from architecture to product design, but not, probably, to music. If you make money doing one thing and then work on another, you have more freedom of choice.

Which route should you take? That depends on how sure you are of what you want to do, how good you are at taking orders, how much risk you can stand, and the odds that anyone will pay (in your lifetime) for what you want to do. If you're sure of the general area you want to work in and it's something people are likely to pay you for, then you should probably take the organic route. But if you don't know what you want to work on, or don't like to take orders, you may want to take the two-job route, if you can stand the risk.

Don't decide too soon. Kids who know early what they want to do seem impressive, as if they got the answer to some math question before the other kids. They have an answer, certainly, but odds are it's wrong.

A friend of mine who is a quite successful doctor complains constantly about her job. When people applying to medical school ask her for advice, she wants to shake them and yell "Don't do it!" (But she never does.) How did she get into this fix? In high school she already wanted to be a doctor. And she is so ambitious and determined that she overcame every obstacle along the way—including, unfortunately, not liking it.

Now she has a life chosen for her by a high-school kid.

When you're young, you're given the impression that you'll get enough information to make each choice before you need to make it. But this is certainly not so with work. When you're deciding what to do, you have to operate on ridiculously incomplete information. Even in college you get little idea what various types of work are like. At best you may have a couple internships, but not all jobs offer internships, and those that do don't teach you much more about the work than being a batboy teaches you about playing baseball.

In the design of lives, as in the design of most other things, you get better results if you use flexible media. So unless you're fairly sure what you want to do, your best bet may be to choose a type of work that could turn into either an organic or two-job career. That was probably part of the reason I chose computers. You can be a professor, or make a lot of money, or morph it into any number of other kinds of work.

It's also wise, early on, to seek jobs that let you do many different things, so you can learn faster what various kinds of work are like. Conversely, the extreme version of the two-job route is dangerous because it teaches you so little about what you like. If you work hard at being a bond trader for ten years, thinking that you'll quit and write novels when you have enough money, what happens when you quit and then discover that you don't actually like writing novels?

Most people would say, I'd take that problem. Give me a million dollars and I'll figure out what to do. But it's harder than it looks. Constraints give your life shape. Remove them and most people have no idea what to do: look at what happens to those who win lotteries or inherit money. Much as everyone thinks they want financial security, the happiest people are not those who have it, but those who like what they do. So a plan that promises freedom at the expense of knowing what to do with it may not be as good as it seems.

Whichever route you take, expect a struggle. Finding work you love is very difficult. Most people fail. Even if you succeed, it's rare to be free to work on what you want till your thirties or forties. But if you have the destination in sight you'll be more likely to arrive at it. If you know you can love work, you're in the home stretch, and if you know what work you love, you're practically there.

Notes

[1] Currently we do the opposite: when we make kids do boring work, like arithmetic drills, instead of admitting frankly that it's boring, we try to disguise it with superficial decorations.

[2] One father told me about a related phenomenon: he found himself concealing from his family how much he liked his work. When he wanted to go to work on a saturday, he found it easier to say that it was because he "had to" for some reason, rather than admitting he preferred to work than stay home with them.

[3] Something similar happens with suburbs. Parents move to suburbs to raise their kids in a safe environment, but suburbs are so dull and artificial that by the time they're fifteen the kids are convinced the whole world is boring.

[4] I'm not saying friends should be the only audience for your work. The more people you can help, the better. But friends should be your compass.

[5] Donald Hall said young would-be poets were mistaken to be so obsessed with being published. But you can imagine what it would do for a 24 year old to get a poem published inThe New Yorker. Now to people he meets at parties he's a real poet. Actually he's no better or worse than he was before, but to a clueless audience like that, the approval of an official authority makes all the difference. So it's a harder problem than Hall realizes. The reason the young care so much about prestige is that the people they want to impress are not very discerning.

[6] This is isomorphic to the principle that you should prevent your beliefs about how things are from being contaminated by how you wish they were. Most people let them mix pretty promiscuously. The continuing popularity of religion is the most visible index of that.

[7] A more accurate metaphor would be to say that the graph of jobs is not very well connected.

Thanks to Trevor Blackwell, Dan Friedman, Sarah Harlin, Jessica Livingston, Jackie McDonough, Robert Morris, Peter Norvig, David Sloo, and Aaron Swartz for reading drafts of this.

Jumat, 31 Juli 2009

ngisi weekend

Tadinya mau nyoba main Desperado, tapi nggak ah. Langsung kuhapus dari dari daftar lagu yang ingin gw pelajari/mainkan. No No No.... Say No To Sad Song!! Hahaha.... Eh tapi gw masi excited main musik, tandanya gw masih oke nih... Cuman emang gw suka males dalam beberapa hal aja kok.


Oiya, mau sharing sesuatu juga nih. Bagi pribadi yang memiliki karakter melankolis kaya gw. Jauh-jauh deh sama lagu-lagu bergenre atau berlirik sedih. Emang sih kalo lagi sedih, rasanya emang cocok dan klop banget dengerin lagu-lagu kaya gitu. Tapi NO... jangan yah...

Btw, mau tau nggak kenapa gw suka banget sama ST12?! Karna lagu itu menyelamatkan gw pas gw nyetir trus spion gw nyenggol bapak-bapak di pinggir jalan. Gw dengerin lagu itu di Hokben MKG, pas lagi lemes-lemesnya karna inget harus nyetir pulang karna nggak ada yang bisa gantiin gw nyetir pulang karna gw pergi sama adik gw. Padahal waktu itu gw baru makan lho. Lemes tih kaitannya sama sugesti, sama pikiran lo. Mau lo makan segambreng juga, tapi kalo pikiran lo muram, yah masih lemes lah dikit2. Nah untung aja Hokben tempat gw makan itu muter lagu2nya ST12.... "Cari Pacar Lagi" beneran membangkitkan semangat gw... Percaya deh sama gw.... Oke... udahan dulu yah. Have a nice day. Have a nice weekend.. Enjoy happy song :D

Rabu, 29 Juli 2009

what's your passion?

Blog ini udah kaya tempat sampah. Tapi gw lebih milih ngetik ketimbang nulis. Huff... Bener-bener lagi males & nggak semangat nih akhir-akhir ini. Gimana ya caranya supaya semangatku terdongkrak lagi? Soalnya saya suka sih menjalani hidup dengan kebahagiaan, tawa, canda... Sounds weird, tapi yah, itulah aku. Aku seneng punya temen2 yang bisa diajak bercanda. Tapi akhir2 ini aku lagi butuh banget temen bercanda. No, not online friends... males ah becanda lewat internet. Kesannya nggak real aja. Kalo bercanda tatap muka langsung, beda lho rasanya. Lebih happy pas lihat ekspresi muka lawan bicaramu. Hufff.... so so lonely. Kalo lagi gini, saya suka menghayal bisa kerja di Google X). Kejauhan ah melarikan dirinya. Tapi emang bener sih, kayanya kerja di tempat itu bakalan bisa fun banget. Full main2 tapi serius. Lots of creativity aura.... Dan nggak tau kenapa, menghayal kaya gitu aja, bisa bikin saya happy dan mood saya langsung baik deh :), hihihi...

Selasa, 28 Juli 2009

simplify

Baru aja baca status YM temen gw : "masih bertanya-tanya, apa benar manusia pernah menginjakkan kakinya di bulan." Jadi ingat pada kejahatan kelas kere (??) yang pernah gw lakukan waktu SMP. Masuk account e-mail seseorang dimana passwordnya adalah nama belakangnya sendiri. Gimana caranya gw masuk? Dengan manfaatin fasilitas "forgot your password" dan password e-mailnya gw dapetin dengan mudah. Dengan cara serupa, gw dapetin juga password-password e-mail temen gw yang lainnya dan gw jadikan sarana pelampiasan kenakalan anak SMP. Nggak sengaja suatu hari gw kelepasan chatting sama korban gw tentang isi e-mailnya yang berisikan gosip bahwa Neil Amstrong ke bulan tuh cuman rekayasa belaka. Yah gitulah, akhirnya gw bahas tuh masalah sama tuh cowok yang anak kuliahan dan ujung-ujungnya dia tahu dia suka baca-baca e-mailnya dia. Yah begitu deh. Sebenernya cara itu orisinal gw temuin sendiri setelah gw nggak dapet ijin baca e-mailnya temen gw, Meta, pas kita berdua patungan ke warnet. So pulang dari warnet, gw pulang ke rumah dan memutar otak gimana caranya gw tetap bisa menjalankan misi gw. Dan ditemukanlah cara sederhana yang waktu itu belum banyak dipikirkan orang. Beberapa hari kemudian, cara itu ada di Koran Tempo, dan beberapa waktu sesudahnya, cara itu jadi nggak terlalu efektif lagi untuk dilakukan.


Yah pokoknya begitulah. Kita tuh sering mikir solusi dari suatu masalah dengan cara yang ribet. Padahal bisa jadi ada cara yang sederhana yang dapat memperbaiki keadaan. Gitu aja sih yang gw maksud. "Simplify but not simpler" (kata Albert Einstein kalo nggak salah). Lagian punya masalah juga ada bagusnya sih, bisa merangsang daya pikir dan kreativitas kita. Ya nggak? Fokus pada solusi aja deh. Konsentrasi. Ya sudah, begitu saja. *kaya orang sinting nih, nasehatin diri sendiri*. Oke deh.

beginilah

Kaya-kayanya, postingan berikut bakalan jadi yang paling gelap daripada yang sudah pernah ada maupun belum (kaya Harry Potter #6 di antara Harry Potter Harry Potter edisi lainnya). Sok dramatis ah, tapi gw merasa bakal menuliskan pengakuan gw yang terdalam setelah selama ini hanya membahas hal-hal sehari-hari. Gw tahu yah kalo gw tuh kadang-kadang agak sotoy, tapi beneran lho, kadang-kadang gw bisa ngerti apa yang dirasakan atau dipikirkan orang lain. Bukan.... bukan membaca pikiran. Gw nggak bisa membaca pikiran, occlumency, legilimency, ato sejenis itu. Tapi gw merasa gw punya semacam firasat yang kuat pada berbagai hal. Hal itu hanya berlaku, jika dan hanya jika, gw bener-bener niat untuk mengetahuinya. Nih, misalnya ya, misalnya, gw bisa nebak apa yang bakal dosen gw lakukan, waktu jaman kuliah dulu. Ato kalo dosen gw ngasi tebakan jayus, gw bakal tau tuh joke bakalan kemana arahnya, makanya gw suka ketawa duluan. Atau banyak hal lain deh. Nggak cuman kelakuan dosen aja sih, orang lain juga, bahkan scene di film padahal gw belum nonton. Makanya gw terkenal sebagai tukang protes ato tukang komentar karna nggak tahu kenapa, gw sekadar tahu saja tentang bagaimana seharusnya film itu bergulir dan kadang-kadang, memang itu yang terjadi. Ato pas tingkat 4, gw pernah stress karna temen-temen sekelompok pemodelan gw maksa-maksa gw presentasi di depan umum. Fyi, gw lemah public speaking lho (yang merupakan alasan terkuat kenapa gw ikut les desain,, agar gw bisa menggambarkan pemikiran gw dalam bahasa visual tanpa harus banyak menceritakannya secara mendetail... eh beneran lho.... aku dapat A di les desainku, aku bener-bener serius lho..).

Oke ganti paragraf walaupun belum ganti topik, balik ke stress pra presentasi. Sore sebelumnya di departemen gw mati lampu, padahal harus bikin slide. Karna kosan gw juga mati, so akhirnya gw nongkrong di himpunan. Temen gw, Rantoni, ngajakin main catur dan gw menang (nggak tau dia ngalah ato gimana, pokoknya gw menang). Rasanya seneng deh menang, walaupun mungkin aja dia ngalah sama gw. Nah besoknya, jam 9 pagi, gw udah nongkrong di himpunan lagi (presentasinya jam 4). Buat ngelupain fakta bahwa gw harus presentasi di sore harinya, gw ngajak anak-anak himp yang ada buat main catur. Dari 6 permainan, gw menang 5 kali. Gw menang lawan Ghif, Dinabo, Ferry, nggak kenal, nggak kenal (alias lupa). Gw dikalahin dengan amat sangat mudah oleh temen gw Fahri. Oiya, gw mengalahkan Ghif dengan beda-beda tipis. Wah, itu langkah besar. Gw SAMA SEKALI NGGAK PERNAH sengaja-sengaja main catur lawan siapapun. So gw seneng banget karna (1) bisa ngelupain masalah (2) menang tanpa disangka-sangka melawan beberapa orang. Padahal gw nggak pernah latihan catur. Gw cuman ngerti aturan-aturannya doang. Blagu banget yah gw????????? Tapi gw mau nyatain bahwa catur..... adalah permainan ”membaca”. “membaca” yang sama, yang gw praktekkan ketika “membaca” situasi, orang, atau apapun. Percaya deh sama gw, kadang-kadang, gw bisa segitu intensnya ngerti perasaan orang, walaupun gw paling anti nunjukkin perasaan sentimentil.

Nah cukup intronya, masuk ke bagian utamanya. Gw mau bilang kalo gw ngerti deh rasanya jadi kakak gw, the black sheep of the family (sorry lho bro, hiperbolis juga nih penggunaan kata-kata gw, hahah…). Dulu, waktu masih SMP, gw pernah nganter kakak gw ke psikolog. Yang ada gw malah diusir keluar karna ngetawain kakak gw pas disuruh ngelipet-lipet kertas dengan ridikulusnya oleh Ibu Psikolog (maaf lho Bu Psikolog dan semua yang tersinggung oleh kata-kata gw yang sarkastis barusan). Namanya juga pemikiran anak SMP. Oke, nah pokoknya kakak gw pernah terlibat urusan per-psikolog-an cuma gara-gara dia pernah kena kasus.

Nah yang ini patut banget dibaca oleh SELURUH ORANG TUA DI DUNIA, bahwa kena kasus pas jaman sekolah tuh biasa lagi. Jangan hiperbolis ah. Kadang-kadang manusia tuh emang suka bertingkah eksentrik. Itu tandanya kita KREATIF. Yang patut orang tua lakukan adalah MULAI MENCOBA MEMAHAMI DAN BUKANNYA MALAH MENGHAKIMI BAHWA ada yang salah sama mereka. Gw ngerti karna GW JUGA DISURUH BERKONSULTASI DENGAN PSIKOLOG OLEH AYAH GW di umur gw yang ke-23...... Hahaha... akhirnya anak kedua ayahku juga ikut-ikutan aneh dan disuruh berkonsultasi dengan psikolog.

Tapi ya ampun.... apa susahnya sih memahami gw? Gw tuh otak kiri (ato kanan yah?) minded since gw alumni matematik. Gw biasanya punya alesan atas segala tindak tanduk gw. Tapi since gw juga main musik, jadi ya kadang-kadang gw suka improvisasi. Tapi emang kaya ortu-ortu kebanyakan, ortu-ortu kita tuh KONSERVATIF.

Wah kebanyakan pake caps lock yah? (Pertanda gw sedang agak kesal)…… Tapi nih ya, tapi…. Gw nggak akan terpengaruh oleh saran ayah gw itu. Yah oke lah terserah. Tapi gw akan terus menjadi gw. Menjadi diri gw sendiri yang alumni matematik sekaligus suka main piano sekaligus eksentrik. Orang kan beda-beda dong yah? Masa mau dicap sama semua? Selama gw masih menghormati orang lain, nggak ada salahnya gw melakukan hal-hal yang ingin gw lakukan....... dan gw juga akan membebaskan jiwa adik gw agar dia nggak terkungkung dalam tradisi keluarga yang membelenggu dirinya (*lebay ah has*...... hahahha).... Pokoknya yah.... nggak tau deh, apa emang firasat gw yang terlalu tajem ato emang gw orangnya beneran complicated...... don’t judge the book by its cover (*tapi by its price* hahahah…)…. Jangan nilai orang dari luarnya aja….. khususnya buat para orang tua nih..... jangan terlalu serius deh Pak, Bu.... Jangan terlalu banyak ngerjain akuntasi..... pergi karokelah sekali-kali agar Anda lihat sisi lain dunia....... ngerti sih gw, kebanyakan orang tua tuh yaaaaa agak nggak bisa melintasi masa...... ngerti-ngerti deh...... Nah baiklah.... sekian curhatan panjang lebar gw. Lain kali sambung lagi. Au revoir :D

Sabtu, 25 Juli 2009

haduh

Wah, sudah lama nggak ngupdate blog ini (emang siapa juga yang mau baca?). Ahaha... baiklah. Gw nulis ini sebagai bahan dokumentasi dan evaluasi perjalanan hidup gw aja kok (halah halah T_T). Oke, cukup ngelanturnya. Hmmm, keluhan hari ini adalah gw belum ngambil kartu ATM dari bank, sementara gw mau beli suatu alat elektronik tertentu. Sebenernya gw punya uang tunai tapi nggak terlalu cukup dan kurangnya hanya sedikit yang membuat gw berpikir untuk menjual beberapa barang pribadi gw (kaya garage sale gitu lho). Tapi setelah mikir lagi, sayang deh gw ama barang-barang gw walopun gw udah nggak suka dengerin kaset lagi dan beralih ke CD audio tapi kaset tetap punya kenangannya sendiri.

Apalagi kaset Britney Spears, C. Aguilera, AFI (Akademi Fantasi Indosiar).... hahahah...:D. Sampe jaman SMA, gw masih beli kaset dan ke sekolah suka bawa walkman dan kadang kalo abis tes BTA gw suka nyanyi-nyanyi stress gitu (gw nggak bener-bener sadar lho nyanyi-nyanyinya, ampe-ampe mbak-mbak BTA yang dateng buat ngumpulin kertas jawaban jadi senyum-senyum maklum gitu liat gw nggak waras) :D Ihhh.. masa-masa SMA yang kacau dan nggak jelas dan agak sinting ituuu...... hihihi.... T_T

Pernah gw jual buku boring yang tebelnya ngalah-ngalahin kamus : Musashi, cuma gara-gara gw males bawa-bawa buku itu di dalam tas gw setelah temen gw, Qonita, balikin buku gw itu T_T. Gw sama sekali nggak mikir harganya. Gw kasih aja berapa (waktu itu gw jual ke temen gw, temen gw jual lewat rileks, forum di ITB gitu lah) terserah deh. Pokoknya waktu itu gw maless banget bawa-bawa buku itu di tas gw. Sekarang nyesel deh, karna buku itu gw beli dari uang les gw. Gw kan pernah jadi outstanding student (lagi hokiii,, hehehe :D) di tempat les bahasa inggris dan akibatnya gw les gratis tapi uangnya tetep gw tilep, buat beli bukuuu.... hahaha... Tuh buku mahal lho... ampe dua ratus ribuan gitu deh, apalagi waktu itu baru launching edisi jilid jadi 1 nya. Sebenernya bokap gw punya edisi kepisah-pisahnya (ada 6 buku). Cuman buku terakhirnya salah cetak, jadi kan endingnya ngegantung gitu. Gw kan penasaran, dan akhirnya, demi memuaskan hasrat gw, maka gw belilah tuh buku yang tebel gila... cuman buat tau endingnya doang.... tapi karna nggak mau rugi, gw baca ulang tuh buku dari awal dan gw bawa kemana-mana pas liburan. Trus orang-orang pada nyindir-nyindir gw kuliah kedokteran padahal waktu itu gw masih SMA....T_T.... hahaha! :D

Uhh.... uhhh..... so intinya, gw nggak mau ah jual barang-barang pribadi (males ah jualan, nggak bakat bisnis, gw orangnya nggak tegaan T_T). So gw ambil kartu ATM gw ajalah. Seneng sih, tabungan gw nggak keusik-usik. Tapi yaaa......

Btw... tadi gw baru buka email dan banyak banget email dari milis himpunan. Isinya debar kusir gitu. Pusing gw bacanya. T_T. Baru bangun udah baca email ribut-ribut. Salah satunya dari kakak kelas gw yang rajin ngajarin aljabar linier ke juniornya.... nggak nyangka gw, dia bisa segitu ofensifnya nyerang 1 orang tertentu T_T. Pusing gw bacanya. Mau nggak gw baca, penasaran... Mau gw baca, nggak enak banget dibaca.... T_T. Sialnya gw, kadang-kadang hipersensitif. Waktu itu gw dan teman-teman yang lain pernah makan bareng dia di daerah Gelap Nyawang. Ketemu nggak sengaja sebenarnya. So akhirnya kita duduk semeja. Dia mengeluarkan 1 pernyataaan tertentu : ”Alin (aljabar linier) tuh gampang lho sebenarnya”. Padahal di antara kita ada yang alinnya C dan mengutuk keras alin. Emang umum sih, alin dikutuk di setiap angkatan. Tuh pelajaran emang susah. Tapi dia dengan entengnya bilang begitu T_T. Walaupun gw nggak mengutuk alin (tapi mengutuk Struk Al, hahahah!!), tapi kata-katanya berasa menghujam lho *lebay mode*, dan yahhh....... nggak tahulah..... nggak tahu lagi..... males ngetiknya..... padahal dia tuh baik banget lho T_T.... trus ditambah debat kusir di milis tadi.... T_T..... Untung ada Lina.... dia ngirim iklan cupcakes towel gitu deh.... Brasa intremezzoo..... Halah.... apa coba nih, gw jadi sentimentil gini? Beberapa waktu lalu, gw ketemu temen les desain gw, Ratih. Yep gw pernah ikut les desain lhooo...... heheheh....:D. Walaupun jadi satu-satunya anak matematik di sana, gw mendapati diri gw cocok temenen sama Ratih. Kita sering ngalor ngidul ke Mc D Dago bareng. Trus pulang tengah malam. Alhamdulillah aman tuh (beberapa waktu lalu kakak gw dirampok di Siliwangi T_T). Udah gitu nonton bareng, ke FO bareng... dan dia jadi satu-satunya orang yang menyemangati gw untuk bertahan pada dosen dan topik TA gw (dosen gw tuh susah banget ditemuin) di saat anak-anak lain di jurusan gw malah berkata sebaliknya (ganti dosen). Beneran lho.... yakin sih gw dia nggak ngerti topik TA dan gimana dosen pembimbing gw saat itu. Dia cuma bilang gini : ”ah masa cuman gara-gara itu, lo udah nyerah? Come on! (sok gaya ngikutin film-film, hahahah :D)”. Tapi pas kemaren gw ketemu sama dia, gw dapati dia berderai air mata. Terharu kayanya. Salah satu penyebabnya adalah gw. Gw ceritain pengalaman hidup beberapa orang dan dia malah jadi terharu.... hehehe.... niatnya mau nyemangatin, eh dia malah jadi terharu.... anak (alumni) DKV emang melankolisnya kental kali yah? Gampang terharu gitu. Tapi dia emang tajam secara emosional dan memori. Jarang-jarang gw bisa nemuin temen dengan memori setajam dia. Dia nyaris menyimak setiap kata yang gw bilang dan bisa masih bisa mengingatnya beberapa waktu kemudian. Gw juga begitu sih (narsis, hahahah!). walaupun gw acuh tak acuh, kadang-kadang ingatan gw juga suka aneh. Giliran waktu ujian bisa lupa, tapi momen-momen atau kata-kata nggak bisa gw lupain. Mungkin itu karna kita sama-sama...... les desain??? Walaupun gw cuman bisa di actionscript dan sama sekali nggak artistik dalam membuat animasi (gw malah bikin game congklak untuk proyek flash gw. Dengan tambahan-tambahan gambar Albert Einstein yang jelek (gw jiplak, maklum, nggak bisa gambar.... hahahah :D) dan lagu Bad Day nya Daniel Powter.... (+karokenya) jadi yang mau nyanyi-nyanyi frustrasi kalo kalah habis main congklak (melawan AI bikinan gw, yang ngaco-ngaco gitu, hahaha....) bisa nyanyi-nyanyi lagu itu)..... Hahahah.... jelas dapat predikat ANEH dari kakak Comlabs yang dengan baik hatinya meneriakkan kata itu di seantro kelas ketika pertama kali liat proyek bikinan gw ^_^.... Tapi masa bodo ah :D.... udah biasa ini.....

Wah, jadi ngelantur...... udahan dulu deh ya kalo gitu.... mau ke gramedia nih... mau beli komik (udah lama nggak baca komik).... sama CD..... (katanya mau beli alat elektronik??).... wah kalo itu sih pake dana yang udah dilokalisir (???) untuk itu deh ya.... (jelas bukan dari orang tua lhooooo)....... Oke deh.... au revoir ^^,

Rabu, 01 Juli 2009

tadi malam susah tidur. kepikiran adik gw yang memilih untuk mendaftar sekolah unggulan. nemnya tinggi sih jadi dia nggak salah apa-apa. masalahnya gw agak khawatir aja karna biasanya dia kan males-malesan kalo harus ngerjain pr T_T. ogah-ogahan kalo mau berangkat sekolah. mau uan aja main play station, komputer, game online melulu kerjaannya. kalo ngobrol juga ngobrolin game ato cheat game. kalo nonton tv juga nontonin acara game. so intinya, dia bukan pecinta sekolah. eh ini tiba-tiba mau masuk sekolah unggulan. amat sangat aneh. katanya dia mau masuk sekolah unggulan untuk membahagiakan orang tua. tambah aneh lagi deh. beneran deh. apa karna gw terlalu sarkastis yah? untung deh has, adik lo masih berani ngungkapin hal-hal aneh model gitu dan nggak merasa aneh karnanya. gw kira sih ini sedikit banyak karna dia habis nonton Garuda Di Dadaku. -_-

yasud, toh hari ini kan bukan keputusan final dia harus nentuin pilihannya. hari ini dia masih memilih 5 sekolah.

sebenernya gw sih oke aja dia mau masuk smp manapun, masalahnya, gw nggak mau dia kehilangan masa-masa bermainnya. yah tapi bukannya nggak mungkin juga dia bakalan kehilangan 100% masa-masa bermainnya kan? hihi. kayanya kekhawatiran gw agak nggak beralasan. :)

Sabtu, 27 Juni 2009

weekend :)

kemarin gw & adik gw nonton Transformer 2. Ada 3 kata yang mewakili antriannya : ampun, ampun, ampun banget deh (ups itu 5 kata ya? :D). Bioskop andalan gw yang biasanya gw mendapatkan kursi deretan A dengan cukup mudah dan memiliki 7 studio pemutaran di dalamnya, berubah menjadi bencana (hiperbolis :D). Banyak banget anak2 kecil dan oh ya, ini kan masa libur sekolah. So, yah, begitu, akhirnya gw dan adik gw nggak dapet tiket di jam pemutaran yang kita mau dan terpaksa nonton di pemutaran selanjutnya, dan duduk di kursi deretan Q, dan pulang malam, dan gw batuk2 (hehehe, banyak virus kali yah di bioskop :D) atau lebih tepatnya gw nggak bawa jaket, gw ngingetin adik gw untuk membawa jaket tapi gw sendiri nggak bawa dan pake jaket, gw alergi dingin kayanya, kalo pake AC biasanya gw pake pola nyala-mati selang seling, di bioskop mana bisa?! Sebenarnya rencana ke bioskop itu agak mendadak, dan yah berhubung gw mulai belajar menjadi 'yes woman', maka gw iyakan saja permintaan2 yang model begitu, selama itu positif dan nggak merugikan. Ngomong2 sebenernya awalnya gw nggak terlalu antusias nonton Transformer2, gw nonton agak terpaksa awalnya (buat nemenin adik gw yang nggak sabar pengen cepet2 nonton), gw belum nonton Transformer1 (tahun lalu gw lagi banyak pikiran kayanya), hehe.. Tapi setelah nonton, ternyata tuh film lucuuuu banget.. Banyak lelucon slapstick yang lucuuu... heuhehee.. jadi yah, kesan gw terhadap film itu : (1) Lucu banget, (2) Keren.. walaupun gw duduk di deretan Q kursi 24. So ya, gw emang nggak menyesal tentu saja.. ngomong2 di lift kita ketemu aktor Doni Kusuma,, dan dia nonton Transformer juga bareng kita, hanya saja, dia dan keluarganya duduk di deretan tengah.

tapi sejak itu, gw jadi berpikir untuk jadi member M-Tix. Selama nongkrong di bioskop dengan kurang kerjaannya (nunggu jam pemutaran, setelah sebelumnya berlama2 makan di AW, solat di mesjid, dan nongkrong2 di depan mesjid, hihi), kita liat2 trailer yang diputer dan ternyata ada trailer Harry Potter And The Half-Blood Prince. Gw inget tahun2 sebelumnya gw biasa menderita dulu kalo mau nonton Harry Potter (kecuali kalo ada temen gw ngorganisir nonton bareng), jadi ya, kayanya tahun ini bakalan begitu juga. Niat gw untuk menjadi member M-Tix semakin kuat, namunn, kartu ATM gw beberapa waktu lalu hilang dan belum diurus T_T. Suatu hari gw sedang ngantuk dan capek berat dan kayanya samar2 gw inget, SIM A gw ngegeser dari tempatnya pas gw buru2 nyari uang 5000 buat ngasi tip ke supir taksi (bokap gw ngajarin kalo gw harus ngasi tip ke supir taksi, minimal 5000). So ya, kayanya di dalem taksi itu deh ATM gw jatuh. Dan uang gw di dompet tinggal 3000 kalo nggak salah. Ah tapi ada bagusnya juga kok. Gw jadi agak sedikit hati2 dalam menggunakan uang karna uang di dompet gw terbatas. :D. Gw jadi ngitung2 setiap mau beli sesuatu. Tapi sekarang kasusnya gw mau jadi member M-Tix dan gw pikir banyak untungnya ketimbang ruginya so, ya, gw akan mendaftar, tapi nggak punya uang tunai. Ah gampang lah, aku akan urus surat kehilangan itu sore ini (weekend, kantor polisi buka nggak ya?). Gampang lah gampang, hihihi... wah nggak sabar untuk melihat seberapa besar keuntungan yang bakal gw dapat kalo jadi member M-Tix. Pasti bakalan asik banget!:D

Selasa, 23 Juni 2009

tidak bosan lhoo :D

Terbangun dengan perasaan bertanggungjawab yang aneh. Karna harus ngerjain tugas (kerjaan) (aku kok suka pake bahasa anak sekolah sih?). Tadi malam tidur karna bosan. Bangun pukul 12 malam untuk minum susu dan makan mangga (yang belom diminum dan dimakan, padahal kan susu menetralisir kandungan vitamin pada mangga, ya nggak sih? eeh malah kumakan dan kuminum keduanya berturut2 -_-). Tidur lagi. Bangun pukul setengah tiga untuk menggosok gigi disusul solat tahajud. Agak takut pada penampakan jin yang belakangan ini pernah dilihat budenya (yang tengah menderita sakit jantung parah T_T) di rumah ayahnya di Bandung. Berpikir betapa menyedihkan dan mengerikannya dunia ini. Sakit jantung, penampakan jin pake kebaya T_T. Berusaha mengerjakan tugas walaupun merasa bosan. Bekerja memang seperti ini. Aku harus pintar2 membawa diri. Tapi aku masih bisa menjadi diriku sendiri di luar lingkup pekerjaanku. Untung aku punya hobi lain seperti mengarang cerita, main musik, menemukan (hihihi...). Bersyukur dong. Jadi aku masih bisa menghapus kebosananku :). Kerjakan. Selesaikan. Aku ingat kata Pak Luthfi, guru agama di SMU ku. "Menunggu itu ada batasnya", bisa aku liat sebagai "kerjaan itu batasnya", nggak? (maksa). Jadi aku nggak harus mengerjakan pekerjaanku terus2an (dobel maksa). T_T. Inilah hidup. Harus memaksakan diri. Nggak deng, harus ikhlas. Hihi.. :). Aww udah setengah lima aja! Cepet selesaiin tugas lo. Ingat, kerjain yang perlu2 aja. Bikin yang bagus. That's all. Nggak perlu improvisasi2 segala yah. Mepet soalnya.

Minggu, 21 Juni 2009

me as an adrenalin junkie

Habis dari Dufaan... :) Dapet tiket gratis dari kantor. Seru deh! Berikut adalah wahana2 yang gw naekin

extreme log
star wars (perang bintang)
arung jeram
halilintar (2x)
rajawali
kicir2 (3x)
istana boneka
tornado
pertunjukan spiderman (1x), harus bayar lagi 20.000 karna cap tangan gw warnanya biru. T_T

naik wahana ekstrim seruu... (apalagi pas naik kicir2 setelah 2 kali berturut2, rasanya agak pusing setelah turun, perlu waktu jeda sebelum naik tornado.. heuhehe..)

ngomong2 tadi kali pertama gw naik tornado lho (norak mode on :D), sebelumnya nggak berani hehe.. rasanya emang kaya mau jatoh (karna gravitasi bumi tentu saja), tapi kalo soal ngeri, masih lebih ngeri kicir2 kursi belakang (gw nyobain 2 2 nya, kursi depan, yang maju dan kursi belakang, yang mundur, lebih ngeri yang mundur lho). yah afterall, gw masih nggak bosen pergi ke dufan walopun umur gw udah 23 :D
hihi.. kapan yah dapet tiket gratis ke dufan lagi? hihi.. :)

back 2 my part time task. kemaren tuh mau nyelesaiin sampai tuntas cuman jam 11 malem gw udah ngantuk banget, nggak tahan T_T, padahal sambil nonton film bioskop trans tv, tapi tetep ngantuknya nggak ketahan. mudah2an malem ini selesai semua yah, supaya besok nggak perlu repot2 lagi.. ;)

note : mau nyari partitur piano out of my head nya fastball. mudah2an malem ini bisa T_T

Sabtu, 13 Juni 2009

kering

Cur col dulu ah. Lagi capek nih. Udah beberapa hari ini aku nggak main piano. Rasanya otak gw jadi agak-agak kering. Gw nggak main piano gara-gara sibuk sama tugas part time baru gw. Masalah programming sih, sedang menyusung algoritma, program, bla bla bla. Emang dasar gw melankolis-koleris yah, gw berusaha memberikan yang terbaik yang gw bisa. Bahkan tidur jam 2 pagi pun rela for the God shake of good algorithm and efficient program. Aduh aduh. Dan kalo udah mikir gitu, alias darah perfeksionis gw mulai muncul, gw jadi tertekan sendiri. INI TIDAK BOLEH DIBIARKAN BERLANJUT UNTUK TERJADI!! Gw harus santai dan menciptakan harmonisasi di hari weekend ini (mulai ngaco a.k.a. sinting nih :D). Tapi emang enak sih kerja part time gini. Bisa nawar2 untuk dikerjain di hari libur dan programming juga salah satu hobi gw. Yah kita kerjakan saja sebaik mungkin, ikhlas karna Allah, nggak mentingin materi karna gw kerja untuk Allah dan kesenangan. Argh udah deh ya. Lebih cepet selesai lebih baik, biar bisa main piano lagi. Tangan gw udah gatel, otak gw udah kering kerontang kaya di padang pasir (ngaco, tanda2 sakit jiwa :D)… ahahah.. hiperbolis nih…. Ah nggak pa pa lah… Toh yang baca ini nggak kenal gw ini… (kecuali gw dan Alah swt)… mudah2an…. (nggak trivial)…

Ah sudahlah, sebelum ngaco lebih jauh lagi… gw udahan dulu yak… :D

Minggu, 31 Mei 2009

Ingat tidak bahwa aku seringkali merasa cepat lelah? Aku rasa, bertahun lalu, aku tidak selemah ini. Maksudku, secara fisik aku memang cepat lelah dari dulu, tapi secara mental hanya beberapa tahun belakangan ini saja. Hatiku memang lemah kurasa. Aku membandingkan keadaan diriku dengan keadaan diri ayahku ketika ditempa krisis. Sangat jauh berbeda. Dia terlihat menghadapinya dengan jantan sementara aku hanya seolah2 merasa jantan. Aku jadi berpikir darimana sumber kekuatan manusia yang sesungguhnya? Aku rasa beberapa tahun belakangan aku melakukan kesalahan dengan prinsip hidupku. Dulu, bertahun lalu, aku sering sakit juga. Gejala tipes, misalnya. Aku sudah pernah sakit 2 kali. Tapi aku menghadapinya dengan santai dan bukannya meratap2 merasa menderita. Aku malah main internet di rumah dan bersyukur bahwa aku punya alasan untuk tidak masuk sekolah yang membosankan. Betapa berbedanya aku sekarang, bertahun kemudian. Aku yang sekarang menghabiskan waktu dan energiku untuk melawan apa yang terjadi alih2 merelakannya untuk terjadi dan berdamai dengannya dan menikmatinya.

Aku googling, mencoba mencari petunjuk atas misteri ini (hahaha..:D). Aku mendapatkan beberapa, seperti misalnya seharusnya kita hanya mengandalkan Allah swt. Aku sudah lupa bagaimana rasanya pasrah, so kukira ini kesalahanku sudah diketahui : aku tidak pasrah. Seharusnya aku bisa menerima segala keputusanNya dengan lapang dada.

Dan beberapa hal lainnya.

Tapi ada lagi yang menarik nih. Coba baca deh. Oh sebelum mengakhiri tulisan ini, aku berpendapat dalam hidup ini ternyata memang diterapkan algoritma. Masalah datang dan pergi. Terimakasih kepada orang2 di sekitarku yang telah memberikan inspirasi dan contoh hidup yang baik padaku. Aku hanya terlalu keras kepala dalam mempertahankan cara hidupku yang sok tangguh sebelum ini. Tapi kuanggap itu sebagai bagian dari proses hidupku. (^^,)v

(dari erabaru.or.id)

Akar Penyakit Timbul Dari Hati

Akhir-akhir ini di internet ada sebuah laporan ilmiah: pikiran adalah sejenis substansi, semacam zat padat. Laporan hasil penelitian terbaru ini diungkap dalam majalah Penelitian Psikiatri.

Para ahli psikiatri Universitas Montreal dan Havard mengatakan, bahwa “luka” ingatan pada korban penganiayaan dapat “dikendalikan” dengan obat-obatan, yaitu dapat mempengaruhi sebagian proses berpikir.

Penelitian ini mengungkapkan, terjadinya ingatan sangat mirip dengan proses pembuatan kaca. Dalam proses menciptakan ingatan, yaitu pada saat proses “berpikir”, terciptalah substansi ingatan dalam wujud cair, selesai dipikir “ingatan” berubah ke dalam wujud padat, pada waktu dipikir ulang sekali lagi tercipta substansi wujud cair, kemudian berubah lagi menjadi padat.

Zat padat ini tidak dapat menghilang secara otomatis, setiap kali akan terakumulasi, semakin sering suatu hal dipikirkan, zat padat yang tercipta juga semakin banyak, ini terjadi dalam memikirkan hal-hal baik maupun hal-hal jahat.

Laporan hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa obat-obatan yang dipakai oleh para ilmuwan, dianggap dapat mengacaukan pikiran yang telah “memadat” setelah proses berpikir seseorang.

Para peneliti mempergunakan propranolol dan obat-obatan placebo untuk merawat 19 orang yang pernah mengalami musibah atau penganiayaan seksual selama sepuluh hari. Selama masa perawatan mereka diminta melukiskan ingatan musibah yang terjadi sepuluh tahun silam.

Setelah dikenang, proses pemikiran ini akan “memadat”, kemudian para peneliti menggunakan obat tersebut untuk menangani pikiran yang telah “memadat” itu.

Minggu berikutnya ternyata para penderita yang menggunakan obat tersebut, telah mengalami penurunan tanda-tanda tekanan yang diderita seperti bertambah cepatnya denyut nadi pada saat mengingat musibah.

Pikiran baik maupun jahat semua dapat berubah menjadi substansi yang memadat, meskipun kita tidak dapat melihat substansi tersebut namun para ahli medis telah dapat memastikannya. Dapat juga dikatakan, bila yang tersimpan dalam pikiran ingatan seseorang hanyalah substansi padat yang hitam jahat, sekalipun untuk sementara masih belum dinyatakan dalam tindakan, dia juga tidak bisa dikatakan sebagai orang baik.

Sebaliknya, bila seseorang setiap harinya bersedia menerima pendidikan yang benar, maka substansi yang telah memadat dalam pikiran dan ingatnnya pastilah baik, bila ada tindakan nyata pastilah berdasarkan niat baik dan tulus.

Dari hasil penelitian medis tersebut dapat dimengerti bahwa pikiran dan gagasan para pendidik dan terdidik telah tersusun menjadi struktur moral di dunia dan tata tertib dalam masyarakat. Maka cara penyembuhan luka batin yang terbaik bukanlah secara pasif menggunakan obat-obatan untuk menangani ingatan yang telah “memadat”, melainkan secara aktif menolak masuknya informasi yang tidak sesuai dengan norma-norma akhlak manusia.

Informasi apa pun yang diterima memang tidak dapat menentukan masa depan seluruh umat manusia, namun setidaknya dapat menentukan masa depan masing-masing individu.

Setelah membaca laporan di atas, tiba-tiba sekilas sebuah pikiran “menuntut diri sendiri agar lebih banyak mendapatkan kebahagiaan”. Ilmu pengobatan tradisional Tiongkok beranggapan bahwa “penyakit berasal dari hati”, emosi yang berlebihan seperti “gembira, marah, cemas, sedih, takut/terkejut” dapat merugikan organ-organ vital.

“Gembira secara berlebih merugikan jantung, sedih merugikan paru-paru, marah merugikan hati, cemas merugikan organ pencernaan, terkejut/takut merugikan ginjal”, emosi yang berlebihan dapat merugikan organ-organ vital, emosi yang berbeda merugikan organ yang berbeda pula.

Pengobatan tradisional Tiongkok beranggapan bahwa sifat saling menghidupi dan saling mengekang kelima unsur dapat dimanfaat untuk merawat penyakit yang disebabkan oleh pengaruh emosional.

Saya sering mengatakan kepada teman-teman kaum ibu sambil bergurau, bila kalian marah karena bertengkar dengan orang lain, haruslah bertengkar sampai menangis, agar perasaan dapat menjadi lega. Karena pengobatan tradisional Tiongkok beranggapan, kemarahan merugikan hati (unsur kayu) sedangkan kesedihan merugikan paru-paru (unsur logam), unsur logam dapat mengekang kayu, yaitu kesedihan dapat mengatasi kemarahan, ketika Anda marah sampai menangis, kemarahan akan diuraikan oleh air mata Anda, dengan demikian hati tidak lagi murung.

Cara hidup, kebiasaan makan minum, hubungan antar manusia, tekanan pekerjaan masyarakat zaman ini sewaktu-waktu dapat menyebabkan ketidak-harmonisan suasana hati sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan yang bersumber pada emosi.

Menurut pengobatan tradisional Tiongkok jantung adalah unsur api, dalam teori saling mengekang antar lima unsur, air mengekang api, artinya takut/terkejut (air) dapat mengalahkan kegembiraan (api). Ketika seseorang terlalu bergembira (api) energi vital menjadi lamban, karena lamban energi menjadi tersebar.

Kecemasan merugikan organ pencernaan (unsur tanah), dalam teori lima unsur, api menghasilkan tanah, organ pencernaan (unsur tanah) adalah anak dari organ jantung (unsur api), anak dapat mempengaruhi ibu, artinya kecemasan bukan saja dapat merugikan organ pencernaan (unsur tanah) juga secara tidak langsung membuat jantung (unsur api) menjadi tidak nyaman.

Dalam teori lima unsur, kayu (hati) dapat menghasilkan api (jantung), hati (unsur kayu) merupakan ibu dari jantung (unsur api), bila anak lemah bisa dibantu dengan memperkuat sang ibu, kemarahan merugikan hati (unsur kayu), juga dapat mempengaruhi jantung (unsur api), sebab itu kelemahan organ jantung (unsur api) dapat dibantu dengan memperkuat organ hati (unsur kayu).

Ilmu kedokteran Tiongkok memperhatikan persatuan manusia dengan alam, teori lima unsur tentang saling menghidupi dan saling mengekang telah menjelaskan konsep umum fungsi tubuh manusia.

Pikiran dan pandangan seseorang menentukan tindakannya, kedokteran modern telah memastikan bahwa pikiran manusia tersimpan dalam ingatan seseorang dalam bentuk padat, setiap kali dikenang selalu memperkuat dirinya dalam ingatan.

Sebagai contoh: andai kata kita mengatakan suatu atau memberi teguran yang telah melukai seseorang, kita mungkin tidak menyadarinya, karena kontradiksi antar manusia sangatlah kompleks.

Orang yang terluka setiap saat memikirkannya, setiap kali dipikir akan melukainya satu kali, lama kelamaan menjadi suatu kebencian dan penyesalan pada Anda. Suasana hati ini akan memperdalam penderitaannya, sehingga dia tidak enak makan, tidur tidak nyenyak. Sebab itu kita hendaknya melihat segala sesuatu dengan hati welasasih, berusaha melihat kebaikan seseorang, jangan mencela, banyaklah memberi dorongan.

Setiap orang hendaknya “menuntut diri sendiri agar lebih banyak mendapatkan kebahagiaan”, apa yang dimaksud dengan “menuntut diri sendiri agar lebih banyak mendapatkan kebahagiaan”?

“Segala sesuatu hendaknya mengalah sehingga lautan dan langit menjadi sangat luas.” “Bersabar sebentar, badai akan tenang.” Karena Tuhan akan memberi jalan, krisis adalah sebuah perubahan yang bisa menguntungkan.

Ketika Anda masygul, putus asa, merasa tidak ada jalan keluar, sudah tidak lagi bisa berjalan, maka relakan saja. Bila jalan tidak berputar, orangnyalah yang akan berputar, tentunya akan terjadi perubahan yang membaik secara tak terduga. Karena ketika Tuhan menutup sebuah pintu, Dia pasti akan membantumu membukakan pintu lain.

Kitab pengobatan tradisional Tiongkok kuno, Neijing, mengatakan, “Angin jahat penyebab sakit, dihindari sesuai waktunya, damai tanpa keserakahan, energi vital mengalir lancar, semangat tidak melantur, kesahatan dengan sendirinya akan mengikuti.” Aturlah irama langkah hidup Anda, mulailah dari “pola makan minum beraturan, pola hidup sehari-hari berketentuan, tidak berlelah-lelah serampangan.”

;;