Selasa, 03 Februari 2009
Besok, bukan, nanti, tepatnya pukul 10 aku akan diwawancara di TNS. Sekarang masih bangun dengan mata nyalang. Sebelumnya aku sempat berpikir kenapa aku nggak merasa cukup bergairah ketika memikirkan proses proses perekrutan ini? Aku memerlukan semangatku kembali. Aku googling sebentar tadi sebelum tidur. Ketika komputerku dimatikanpun aku masih berpikir-pikir dan googling lagi dengan ponsel untuk mencari inspirasi. Tadi sempat facebook-an sama teman SMP ku dan nyambung nyambungnya jadi ke ayahku, yang satu almameter dengannya. Aku mulai menggoogling nama ayahku. Wow. Cukup banyak entrinya. Ayahku penulis yang produktif untuk ilmu yang ditekuninya. Mengesankan. Aku mulai berpikir pikir untuk melakukan hal serupa. Toh kemampuan menulisku kuanggap cukup baik. Aku pernah menulis naskah drama untuk kelasku semasa SMA dan responsnya cukup bagus. Yah hanya sebatas itu sih karyaku yang diakui orang. Well selain TA. Tapi sebagian besar sih (kalo 1 bisa dianggap besar :D), karyaku nggak penting. Dan hanya mengedepankan lelucon. Aku ingat aku menulis cerita detektif yang konyol tentu saja. Aku punya beberapa cerita semacam itu (detektif konyol). Karna aku suka sekali membaca novel detektif waktu aku masih kecil. Dan konyol, well, mungkin itu sifatku yang ada sejak dulu (sampai sekarang bahkan, aku merasa diriku begitu tolol dan konyol :D). Kecintaanku pada bahasa dan permainan bahasa sudah ada sejak, well, entahlah. Sungguh deh, aku bahkan bisa sakit kepala kalo mendapati tata bahasa yang salah yang tertera di tempat paling nggak penting sekalipun. Pertamakali suka membaca, aku membaca novel dan bukan komik. Oke cukup. Kembali ke topic utama. Intinya, aku cukup percaya diri dengan kemampuan menulisku. Aku cukup kehilangan visi sekarang sekarang ini, jadi aku perlu menuliskan postingan ini, untuk mengembalikan visiku kembali dan agar, paling tidak, aku bangun dengan bersemangat nanti pagi. Tadi kan aku sudah cerita bahwa aku googling nama ayahku. Nah kemudian aku googling beberapa nama lagi, nama saudara sepupuku. Aku ingat ayahku pernah membawa bawa namanya waktu aku merengek rengek minta pindah sekolah. Aku masuk salah satu SMA unggulan di Jakarta. Alasanku masuk sekolah itu apa coba? Karna pilihan lainnya (regular) tidak begitu bagus (di mataku). SMA x misalnya, dekat dengan rumahku juga, namun sangat disiplin sampai sampai jika siswa terlambat tidak diizinkan masuk. Sementara hampir setiap hari aku terlambat sewaktu di SMP, bahkan ketika menjadi ketua kelas sekalipun. Dan SMA y, yang juga dekat dengan rumahku, adalah bekas sekolah kakakku. Kakakku pemberontak luar biasa dan sangat terkenal di sekolah. Aku sudah capek bersekolah di sekolah yang sama dengan kakakku. Ingat tidak bahwa aku pendendam? Aku bisa benci pada guru yang menjelek jelekkan kakakku atau memperlakukan kakakku secara tidak bijaksana. Walaupun hubunganku dan kakakku juga tidak begitu akur, namun, entah kenapa, api kebencian pada guruku (wali kelasku sekalipun, yang pernah bertindak jahat pada kakakku) dapat terlihat jelas di mataku. Aku ingat wali kelasku pernah berteriak begini padaku : “Retno, kamu kenapa sih? Sentimen ya sama saya?”. Aku lupa bagaimana reaksiku, yang jelas aku memang benci padanya karna perlakuannya pada kakakku. Wuits, penjelasan panjang lebar… hehehe… nah kembali ke masalah masuk SMA baru. Aku bisa dibilang tidak begitu ambisius saat itu. Yang jelas, aku merasa bosan pada sekolah, pada PR yang banyak dan lain sebagainya. Yang mendaftarkanku ke SMA saja ibuku. Aku tidak ikut dan malah nonton TV di rumah. Yang pasti aku bersyukur diterima di sana, lebih tepatnya, karna aku lulus ujian. Aku ingat satu satunya ketakutanku adalah tidak lulus ujian. Aneh ya? Bahkan saat itu belum ada batas nilai minimal kelulusan ditambah bernazar sebelum EBTANAS. Senang sekali bisa belajar dengan cara seperti itu. Murni dan tanpa ambisi. Kehidupanku begitu damai, tentu saja dengan mengesampingkan keterlambatan, ketertinggalan barang barang, salah pakai seragam dan hal hal konyol seperti itu. Nah waktu masuk SMA, beda lagi. Temanku sedikit di sana. Yah tentu saja karna itu sekolah unggulan sementara SMP ku sekolah regular. Aku ingat aku mengalami stressku yang pertama. Maksudku stress yang cukup memukul. Aku ingat, sulit sekali bagiku untuk masuk ke lingkungan baru, jam sekolah yang panjang, PR yang lebih banyak lagi. Aku langsung mogok, minta pindah sekolah dimana banyak teman-temanku yang bersekolah di sana. Sekalipun aku harus bertemu dengan guru guru kakakku pun tidak apa-apa, kutanggung resikonya. NEM ku pasti memenuhi untuk masuk ke sana karna standarnya berada di bawah SMA tempatku bersekolah. Tapi tidak, ayahku keras sekali. Beliau merespons permintaanku dengan datang ke sekolah dan melunasi uang pangkal yang seharusnya dicicil selama 3 tahun aku bersekolah. Maka aku terkunci di sana dan tidak bisa pindah pindah lagi. Aku sempat sakit lho, karna kecapekan. Sakit tipes dan harus diopname segala. Awal yang buruk. Nah saat inilah nama sepupuku dibawa bawa. Aku ingat aku pernah pulang sekolah sambil memberengut dan ayahku memberi contoh sepupuku yang sama sama sulit menyesuaikan diri seperti aku. Aku memanggilnya Mas Dikson. Aku ingat nama panjangnya karna aku pernah membuat tugas silsilah keluarga untuk tugas mata pelajaran sosiologi di kelas 2 SMA. Nah aku googling lagi dan menemukan artikel yang menarik tentangnya.
Ayahku pernah menceritakannya padaku dan aku baru tahu versi lengkapnya. Ternyata lucu. Dia punya hobi yang aneh. Hahaha. Well.. bisa menjadi inspirasi bukan? Ada beragam cara untuk mengekspresikan diri. Dia bisa jadi salah satu teladan yang baik. :)
Ayahku pernah menceritakannya padaku dan aku baru tahu versi lengkapnya. Ternyata lucu. Dia punya hobi yang aneh. Hahaha. Well.. bisa menjadi inspirasi bukan? Ada beragam cara untuk mengekspresikan diri. Dia bisa jadi salah satu teladan yang baik. :)
Label: ekspresi diri, unik
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar